PKSMEDAN.com - Ketika umat Islam berjuang membela martabat agamanya karena merasa dinodai oleh ucapan Seorang pejabat publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai sikap anti-kebhinekaan dan anti-NKRI. Ada anggapan bahwa menghormati kebhinekaan semata-mata diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan namun kurang mengindahkan hak-hak setiap warga dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebhinekaan akhir-akhir ini terasa direduksi maknanya menjadi semata-mata melindungi hak-hak minoritas tanpa menghormati hak-hak mayoritas. Klaim-klaim sepihak tentang kebhinekaan adalah cara termudah untuk mengasosiakan diri dengan hal tersebut. Tapi yang sulit adalah membuktikannya pada sikap dan perilaku di kehidupan nyata. Kebhinekaan terawat bukan karena klaim-klaim sepihak tetapi karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggungjawab, dan berpihak kepada kebenaran dan rasa keadilan masyarakat.
Adanya pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, Kebhinekaan dan NKRI adalah pemikiran yang berbahaya dan ahistoris. Islam, Kebhinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang seutuhnya maka secara aksiomatis ia juga menjadi seorang nasionalis dan pluralis seutuhnya. Jika masih ada entitas di Republik ini yang mengatakan bahwa umat Islam tidak nasionalis, anti-kebhinekaan, maka sesungguhnya mereka telah memunggungi takdir sejarah Republik Indonesia.
Bung Karno pernah berpesan kepada bangsa Indonesia bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah. Oleh karena itu, jangan pernah melupakan sejarah panjang perjuangan umat Islam dalam memerdekakan dan membangun Republik ini. Janganlah melupakan jasa besar Kiyai Haji Hasyim Asy’ari bersama umat Nahdhiyin yang menyerukan Resolusi Jihad untuk mengobarkan semangat perlawananan pejuang Surabaya dibawah komando jihad Bung Tomo dalam mempertahankan Kota Pahlawan dari gempuran Imperialis.
Sejarah juga telah mencatat bagaimana Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh-tokoh umat Islam lainnya telah berbesar hati mengorbankan aspirasi umat Islam dengan merelakan penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan Sila Pertama Pancasila sebagai sikap penghormatan kepada aspirasi Saudara-saudara sebangsanya dari Indonesia bagian timur.
Kita juga harus ingat bagaimana peran diplomat muslim kita, Haji Agus Salim dan AR Baswedan, yang dengan susah payah bergerilya mencari pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI dari dunia Internasional. Dengan mengedepankan semangat ukhuwah Islamiyah, mereka berhasil mengantarkan RI mendapatkan pengakuan kedaulatan pertamanya dari negara-negara Islam seperti Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi dan Yaman. Kiprah diplomasi mereka berhasil menyudutkan Belanda di forum PBB dan mengukuhkan kedaulatan RI di mata dunia.
Bahkan jika merujuk pada konsepsi NKRI itu sendiri, secara legal-konstitusional justru terlahir dari kepeloporan dan perjuangan umat Islam di Parlemen yang saat itu disuarakan oleh Mohamad Natsir. Melalui Mosi Integralnya, Natsir mengusulkan kepada Parlemen RI untuk mengganti konsep Negara Republik Indonesia Serikat (NRIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Insiatif Natsir ini akhirnya disambut baik oleh seluruh kekuatan politik di Parlemen saat itu, sehingga konsep NRIS dibubarkan dan sebagai gantinya Indonesia menjadi NKRI.
Modal Sosial Bangsa
Kita telah memahami bersama bahwa kebhinekaan Indonesia merupakan sebuah keajaiban dunia. Kita semua telah merawatnya dengan susah payah. Maka tak sepatutnya kebhinekaan ini dikoyak-koyak oleh kekerasan verbal yang melukai rasa persatuan bangsa.
Semangat menghormati kebhinekaan dan persatuan bangsa adalah modal sosial bangsa yang wajib kita jaga bersama. Semua tindakan yang menodai kebhinekaan oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan yang sama di depan hukum (equality before the law).
Kita harus jaga dan rawat kebhinekaan dan NKRI yang kita cintai ini agar tetap kokoh dan tergoyahkan. Ada tiga modal sosial bangsa yang bisa menjadi penompang hal tersebut.
Pertama, Sense of Belonging yakni rasa saling memiliki sebagai bangsa. Semua harus merasa memiliki NKRI, jangan ada yang tidak merasa memiliki. Di sisi lain, jangan pernah ada yang mengklaim bahwa ia satu-satunya pewaris sah republik ini.
Bangsa ini lahir atas jerih payah dan pengorbanan berbagai komponen bangsa. Dalam benak kita semua harus tertanam kuat bahwa bangsa ini adalah milik semua anak bangsa: dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Bangsa ini bukan hanya milik suku dan agama tertentu, tapi merupakan milik semua suku dan agama yang diakui di Indonesia.
Kebhinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu mengayomi minoritas, dan disaat yang sama kelompok minoritas juga bisa memposisikan diri mereka dan menghormati kelompok mayoritas. Rasa saling memiliki di antara sesama anak bangsa akan menumbuhkan sinergi dan harmoni, karena kita percaya bahwa sikap dan tindakan setiap anak bangsa dilandasai oleh rasa saling memiliki atas bangsa ini.
Kedua, Sense of Togetherness yakni rasa kebersamaan sebagai sesama anak bangsa yang sama-sama cinta kepada tanah airnya. Bangsa ini sangat majemuk. Bangsa ini terdiri dari belasan ribu pulau, ratusan bahasa daerah, ribuan suku bangsa, beberapa agama dan kepercayaan. Bahkan bukan hanya majemuk, tapi juga terfragmentasi dan tersegmentasi.
Adalah sebuah Sunnatullah bahwa untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerjasama atau gotong royong. Kita tidak bisa membangun Republik ini sendirian hanya melibatkan golongan dan kelompok tertentu saja tanpa bantuan dan kerjasama dengan berbagai elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berkembang hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin.
Dan ketiga adalah Trustworthiness yakni rasa saling percaya diantara seluruh komponen bangsa. Pada tingkat gagasan kita harus saling percaya bahwa semua warga Indonesia memiliki niat baik untuk bangsanya dengan caranya masing-masing. Namun, pada tingkat tindakan kita harus membuktikannya dengan melihat sepak terjang dan perilakunya apakah niat baik itu benar-benar ditunjukkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika terbukti ada niat jahat, maka semua wajib mencegah dan menghentikannya.
Saya meyakini ketika ketiga modal sosial bangsa tersebut dijalankan secara konsisten dan konsekwen, InsyAllah bangsa dan negara ini akan semakin maju, kokoh dan bermartabat serta dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Mohamad Sohibul Iman, Ph.D
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(Dimuat di Harian Republika, Selasa 6 Desember 2016)
Kebhinekaan akhir-akhir ini terasa direduksi maknanya menjadi semata-mata melindungi hak-hak minoritas tanpa menghormati hak-hak mayoritas. Klaim-klaim sepihak tentang kebhinekaan adalah cara termudah untuk mengasosiakan diri dengan hal tersebut. Tapi yang sulit adalah membuktikannya pada sikap dan perilaku di kehidupan nyata. Kebhinekaan terawat bukan karena klaim-klaim sepihak tetapi karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggungjawab, dan berpihak kepada kebenaran dan rasa keadilan masyarakat.
Adanya pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, Kebhinekaan dan NKRI adalah pemikiran yang berbahaya dan ahistoris. Islam, Kebhinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang seutuhnya maka secara aksiomatis ia juga menjadi seorang nasionalis dan pluralis seutuhnya. Jika masih ada entitas di Republik ini yang mengatakan bahwa umat Islam tidak nasionalis, anti-kebhinekaan, maka sesungguhnya mereka telah memunggungi takdir sejarah Republik Indonesia.
Bung Karno pernah berpesan kepada bangsa Indonesia bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah. Oleh karena itu, jangan pernah melupakan sejarah panjang perjuangan umat Islam dalam memerdekakan dan membangun Republik ini. Janganlah melupakan jasa besar Kiyai Haji Hasyim Asy’ari bersama umat Nahdhiyin yang menyerukan Resolusi Jihad untuk mengobarkan semangat perlawananan pejuang Surabaya dibawah komando jihad Bung Tomo dalam mempertahankan Kota Pahlawan dari gempuran Imperialis.
Sejarah juga telah mencatat bagaimana Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh-tokoh umat Islam lainnya telah berbesar hati mengorbankan aspirasi umat Islam dengan merelakan penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan Sila Pertama Pancasila sebagai sikap penghormatan kepada aspirasi Saudara-saudara sebangsanya dari Indonesia bagian timur.
Kita juga harus ingat bagaimana peran diplomat muslim kita, Haji Agus Salim dan AR Baswedan, yang dengan susah payah bergerilya mencari pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI dari dunia Internasional. Dengan mengedepankan semangat ukhuwah Islamiyah, mereka berhasil mengantarkan RI mendapatkan pengakuan kedaulatan pertamanya dari negara-negara Islam seperti Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi dan Yaman. Kiprah diplomasi mereka berhasil menyudutkan Belanda di forum PBB dan mengukuhkan kedaulatan RI di mata dunia.
Bahkan jika merujuk pada konsepsi NKRI itu sendiri, secara legal-konstitusional justru terlahir dari kepeloporan dan perjuangan umat Islam di Parlemen yang saat itu disuarakan oleh Mohamad Natsir. Melalui Mosi Integralnya, Natsir mengusulkan kepada Parlemen RI untuk mengganti konsep Negara Republik Indonesia Serikat (NRIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Insiatif Natsir ini akhirnya disambut baik oleh seluruh kekuatan politik di Parlemen saat itu, sehingga konsep NRIS dibubarkan dan sebagai gantinya Indonesia menjadi NKRI.
Modal Sosial Bangsa
Kita telah memahami bersama bahwa kebhinekaan Indonesia merupakan sebuah keajaiban dunia. Kita semua telah merawatnya dengan susah payah. Maka tak sepatutnya kebhinekaan ini dikoyak-koyak oleh kekerasan verbal yang melukai rasa persatuan bangsa.
Semangat menghormati kebhinekaan dan persatuan bangsa adalah modal sosial bangsa yang wajib kita jaga bersama. Semua tindakan yang menodai kebhinekaan oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan yang sama di depan hukum (equality before the law).
Kita harus jaga dan rawat kebhinekaan dan NKRI yang kita cintai ini agar tetap kokoh dan tergoyahkan. Ada tiga modal sosial bangsa yang bisa menjadi penompang hal tersebut.
Pertama, Sense of Belonging yakni rasa saling memiliki sebagai bangsa. Semua harus merasa memiliki NKRI, jangan ada yang tidak merasa memiliki. Di sisi lain, jangan pernah ada yang mengklaim bahwa ia satu-satunya pewaris sah republik ini.
Bangsa ini lahir atas jerih payah dan pengorbanan berbagai komponen bangsa. Dalam benak kita semua harus tertanam kuat bahwa bangsa ini adalah milik semua anak bangsa: dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Bangsa ini bukan hanya milik suku dan agama tertentu, tapi merupakan milik semua suku dan agama yang diakui di Indonesia.
Kebhinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu mengayomi minoritas, dan disaat yang sama kelompok minoritas juga bisa memposisikan diri mereka dan menghormati kelompok mayoritas. Rasa saling memiliki di antara sesama anak bangsa akan menumbuhkan sinergi dan harmoni, karena kita percaya bahwa sikap dan tindakan setiap anak bangsa dilandasai oleh rasa saling memiliki atas bangsa ini.
Kedua, Sense of Togetherness yakni rasa kebersamaan sebagai sesama anak bangsa yang sama-sama cinta kepada tanah airnya. Bangsa ini sangat majemuk. Bangsa ini terdiri dari belasan ribu pulau, ratusan bahasa daerah, ribuan suku bangsa, beberapa agama dan kepercayaan. Bahkan bukan hanya majemuk, tapi juga terfragmentasi dan tersegmentasi.
Adalah sebuah Sunnatullah bahwa untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerjasama atau gotong royong. Kita tidak bisa membangun Republik ini sendirian hanya melibatkan golongan dan kelompok tertentu saja tanpa bantuan dan kerjasama dengan berbagai elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berkembang hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin.
Dan ketiga adalah Trustworthiness yakni rasa saling percaya diantara seluruh komponen bangsa. Pada tingkat gagasan kita harus saling percaya bahwa semua warga Indonesia memiliki niat baik untuk bangsanya dengan caranya masing-masing. Namun, pada tingkat tindakan kita harus membuktikannya dengan melihat sepak terjang dan perilakunya apakah niat baik itu benar-benar ditunjukkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika terbukti ada niat jahat, maka semua wajib mencegah dan menghentikannya.
Saya meyakini ketika ketiga modal sosial bangsa tersebut dijalankan secara konsisten dan konsekwen, InsyAllah bangsa dan negara ini akan semakin maju, kokoh dan bermartabat serta dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Mohamad Sohibul Iman, Ph.D
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(Dimuat di Harian Republika, Selasa 6 Desember 2016)
0 Response to "Islam, Kebhinnekaan, dan NKRI"
Posting Komentar