PKSMEDAN.com - Sahabat yang dirahmati Allah awt, tidaklah kita sadari bahwasanya alam dunia ini hanyalah merupakan tempat persinggahan bagi manusia untuk menempuh suatu perjalanan yang sangat jauh, tetapi mengapa banyak manusia yang terlena oleh kehidupan dunia dan melupakan kehidupan akhirat padahal dunia ini merupakan tempat yang hina Penuh dengan tipu daya dan senda gurau belaka, mereka ingin hidup kekal dan bahagia di dunia sampai melupakan kehidupan yang akan datang, padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal dari pada dunia :
بَلْ تُؤْثِرُوْنَ اْلحَيَاةَ الّدُنْيَا وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُ وَأَبْقَى ( الأعلى : 17- 16 )
“ Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal “. (QS,al-A’laa : 16-17).
Dijadikannya dunia ini oleh mereka sebagai surga tetapi kehidupan mereka diakhirat akan mendapat adzab dan siksa yaitu dimasukan kedalam api neraka. Sahabat yang dirahmati Allah, marilah kita renungkan kembali bahwasanya Allah menciptakan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, dan dunia ini merupakan tempat ujiannya, tempat persinggahan dan ladang untuk mempersiapkan bekal untuk menempuh suatu perjalanan yang panjang yaitu untuk menempuh kehidupan yang akan datang (akhirat).
روي عن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال لأبي ذرّالغفاري رضي الله عنه : يا أبا ذرّ جدّد السفينة فإنّ البحر عميق, وخذالزاد كاملا فإنّ السفر بعيد, وخفّف الحمل فإنّ العقبة كئود, وأخلص العمل فإنّ الناقد بصير. ( نصائح العباد
“ Diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya Rosulullah saw berkata kepada Abu Dzar r.a : “ hai Abu Dzar perbaharuilah perahumu karena lautan itu sangatlah dalam, ambilah perbekalan secara sempurna (banyak) karena perjalanan itu sangatlah jauh, dan kurangilah beban bawaanmu karena tanjakan itu bagaikan gunung, dan ikhlaskanlah amal karena Dzat yang menilai baik dan buruk maha melihat “. (kitab Nashoihul ‘ibad).
Sahabat yang dirahmati Allah swt, Rosulullah berkata kepada Abu Dzar, siapakah Abu Dzar itu ? Abu Dzar itu berarti bapaknya Abu Dzar, nama sebenarnya adlah Jundub bin Jinadah, Rosulullah saw berkata kepadanya :
جدّدالسفينة
“ perbaharuilah perahumu “, maksudnya yaitu
أحسن النيّة في كلّ ماتأتي وتذر ليحصل لك الأجر والنجاة من عذاب الله تعالى
“ yakni ikhlaskanlah niyat dalam segala amal yang engkau kerjakan agar memperoleh pahala dan selamat dari siksa Allah swt “.
فإنّ البحر عميق
“ maka sesungguhnya lautan itu sangatlah dalam “, maksudnya kehidupan dunia itu bagaikan samudera yang dalam penuh dengan gelombang maksiat, godaan, halangan dan rintangan, kita hidup di dunia berusaha untuk menuju surga itu amatlah berat,,
وإنّ الجنّة مخفوفة بالمكاره وإنّ النار مخفوفة باللذات والشهوات, فلا تلهينّكم عن الأخرة. ( الحديث
“ dan sesungguhnya jalan menuju surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci, banyak rintangannya-rintangannya, dan jalan menuju neraka itu dikelilingi oleh kenikmatan-kenikmatan dan syahwat-syahwat, dan janganlah kamu terlalaikan dalam mencari kehidupan akhirat yaitu surga “, janganlah kita tertipu daya oleh syetan apalagi mengikuti jejak langkahnya, kita sebagai orang yang beriman harus mengetahui jejak langkah dan perbuatan-perbuatan syetan, diantaranya, dalam firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَ اْلخَمْرُ وَاْلمَيْسِرُ وَاْلأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الّشَيْطَانِ, فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. (المائدة : 90 ).
“ wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan “. (QS,al-Maidah : 90).
Selanjutnya kata Rosulullah :
وخذالزاد كاملا فإنّ السفر بعيد
“ ambilah perbekalan secara sempurna, karena perjalanan itu sangatlah jauh “, perjalanan disini yaitu perjalanan dari dunia menuju akhirat, dan perbekalan disini maksudnya yaitu taqwa, karena taqwa merupakan suatu bekal yang efisien untuk bekal menuju akhirat dengan taqwa kita bisa memperoleh derajat yang mulia karena taqwa yaitu ‘melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya’ yaitu larangan Allah swt, kemudian Rosul meneruskan ucapannya :
وخفّف الحمل فإنّ العقبة كئود
“ dan kurangilah beban, karena tanjakan itu bagaikan gunung “, kurangi beban maksudnya yaitu sederhanakanlah urusan dunia, jangan mengutamakan kehidupan dunia sedangkan kehidupan akhirat terlalaikan, biasanya yang sering melalaikan manusia dan lupa untuk berdzikir dan beribadah kepada Allah yaitu selain kemegahan dunia, tapi juga karena harta dan anak,, kemudian Rosulullah melanjutkan ucapannya :
وأخلص العمل فإنّ الناقد بصير
“ dan ikhlaskanlah dalam beramal, karena Dzat yang menilai baik dan buruk itu maha melihat “. Maksudnya amal perbuatan itu harus disertai niyat yang ikhlas, tanpa niyat yang ikhlas amal seseorang tidak akan diterima meskipun banyak, tapi dengan ikhlas amal sedikitpun akan besar artinya di sisi Allah swt.
Sahabat yang dirahmati Allah, untuk kesimpulannya yaitu kita harus ingat bahwasanya manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, dan manusia hidup di dunia ini tidak kekal abadi melainkan akan mati dan berpindah tempat dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat, dan seyoginya kita harus mempersiapkan bekal yang cukup untuk menempuh perjalanan tsb. Yang akan menyelamatkan kita tiada lain hanyalah Rahmat Allah dan bekal tsb, yaitu amal shalih dan taqwa yang akan mengantarkan kita pada derajat yang mulia yaitu ridha Allah swt.
dalam rangka kita sebagai kaum muslimin, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
Ketika sakit menjelang wafat, Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?” Lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini”! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah.
Setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya, memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).
Apakah bekal terbaik ?
Pertama,
kekuatan iman dan taqwa kepada Allah SWT dan kepada hal-hal yang ghaib termasuk hari akhir.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).
Salah satu Ciri yang orang takwa adalah yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3). Keimanan kepada yang ghaib termasuk kepada hari akir memberikan kemampuan kepada manusia untuk menembus batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT.
Kedua,
Kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu. Bukan berarti kita menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Dunia hanyal alat dan infrastruktur menyiapkan bekal dan bukan tujuan akhir.
Ketiga,
kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Hal ini hanya mungkin dilakukan bila kita percaya kepada Allah, dan percaya pada balasan-Nya.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2:
45-46).
Keempat,
Semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS. Al-`Ankabut/29:69).
Pada hakikatnya kita saat ini sedang melakukan perjalanan mengarungi hidup di dunia yang akan menuju akhirat kelak. Seperti diriwayatkan di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Hidup ini hanyalah selintas saja, seperti seorang yang berjalan kemudian berteduh di bawah pohon rindang kemudian berjalan lagi”.
Inilah 5 Cara untuk menjaga menjadi bekal hidup itu:
1. Mu’ahadah (selalu mengingat perjanjian dengan Allah SWT)
Perjanjian yang telah kita lakukan ketika awal penciptaan ruh tersebut dipahami oleh para ulama sebagai syahadat kita yang pertama. Sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an, Allah berfirman : “Dan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab. “Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikianitu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al A’raf, 7 : 172)
Ini adalah sebuah perjanjian yang kita di dunia ini diuji oleh Allah, apakah kita termasuk orang-orang yang memegang teguh perjanjian tersebut. Kemudian juga perjanjian-perjanjian kita dalam sholat-sholat kita semisal dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi, “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”. Artinya, hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon dan meminta pertolongan. Sudahkah kita mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada Allah?
2. Mujahadah (orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah)
Ibadah adalah alasan Allah menciptakan manusia. “Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka menyembahKU. (QS. Adz Dzariyat, 51 : 56)
Bermujahadah artinya bersungguh-sungguh dalam melaksankan keta’atan dalam menjalankan perintah Allah. Sa’id Musfar Al Qahthani mengatakan; Mujahadah berarti mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mempergunakan potensi diri untuk taat kepada Allah dan apa-apa yang bermanfaat bagi diri saat sekarang dan nanti, dan mencegah apa-apa yang membahayakannya.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benarakan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al ‘Ankabuut, 29 : 69)
Orang yang merubah rasa malas menjadi semangat, meninggalkan maksiat menuju keta’atan, bodoh menjadi berilmu, dari ragu kepada yakin, adalah ciri orang yang bermujahadah. Mujahid yang selalu berupaya bersungguh-sungguh di jalan Allah.
3. Muraqobah (Selalu Merasa diawasi Allah)
“Orang yang banyak berdzikir adalah orang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Dzikir terambil dari kata dzakaro yang berarti menghadirkan sesuatu ke dalam benak. Dzikrullah adalah menghadirkan Allah ke dalam benak. Karena itu orang yang selalu berdzikir akan menyadari betul bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Seperti di dalam ayat “Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (QS. Al A’la, 87 : 7)
Dalam ayat lain: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dengan urat lehernya, yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf, 50 : 16-18)
4. Muhasabah (Intropeksidiri)
Terkait dengan muhasabah, Umar bin Khaththab berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab, timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sesungguhnya berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab di kemudian hari” (HR. Iman Ahmad dan Tirmidzi secara mauquq dari Umar bin Khaththab)
Hal senada juga pernah diungkapan oleh Hasan Al Basyri pernah berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya karena Allah. Karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah menghisab dirinya di dunia.
5. Mu’aqobah (Memberi sanksi ketika lalai beribadah)
Sikap jika bersalah memberi sanksi diri sendiri dengan mengganti dan melakukan amalan yang lebih baik meski berat, contoh dengan infaq dan sebagainya. Atau dengan bersegera bertaubat dan berusaha kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Memberikan sanksi (‘iqob) ketika kita lalai memang sulit. Dibutuhkan kesadaran diri yang baik dan kimanan yang kuat. Hanya orang-orang yang sholeh yang dapat melakukannya. Seperti salah satu kisah Nabi Sulaiman as dalam Alquran,
“(ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku
sampai kuda itu hilang dari pandangan. Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”, Lalu ia potong kaki
dan leher kuda itu.(QS. Shaad, 38 : 31-33)
Sebuah perilaku yang dapat kita jadikan contoh, juga generasi sahabat atau parasalaf yang meng ‘iqob dirinya secara langsung ketika mereka melakukan kekhilafan, misalnya: dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab pergi kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan sholat Ashar. Maka beliau berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah sholat Ashar, kini kebunku aku jadikan shodaqoh untuk orang-orang miskin.
Subhanallah walhamdulillah, bagaimana dengan akhlak kita? Seberapa sering kita lalai dan seakan tidak perduli dengan kelalaian kita tersebut. Semoga 5 M ini lebih berharga dari 5 milyar yang kita inginkan di dunia ini. Karena 5 M ini jauh bernilai karena dapat menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat kita kelak. Insya Allah.
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
* Ketua DPC PKS Kec.Medan Perjuangan
بَلْ تُؤْثِرُوْنَ اْلحَيَاةَ الّدُنْيَا وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُ وَأَبْقَى ( الأعلى : 17- 16 )
“ Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal “. (QS,al-A’laa : 16-17).
Dijadikannya dunia ini oleh mereka sebagai surga tetapi kehidupan mereka diakhirat akan mendapat adzab dan siksa yaitu dimasukan kedalam api neraka. Sahabat yang dirahmati Allah, marilah kita renungkan kembali bahwasanya Allah menciptakan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, dan dunia ini merupakan tempat ujiannya, tempat persinggahan dan ladang untuk mempersiapkan bekal untuk menempuh suatu perjalanan yang panjang yaitu untuk menempuh kehidupan yang akan datang (akhirat).
روي عن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال لأبي ذرّالغفاري رضي الله عنه : يا أبا ذرّ جدّد السفينة فإنّ البحر عميق, وخذالزاد كاملا فإنّ السفر بعيد, وخفّف الحمل فإنّ العقبة كئود, وأخلص العمل فإنّ الناقد بصير. ( نصائح العباد
“ Diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwasanya Rosulullah saw berkata kepada Abu Dzar r.a : “ hai Abu Dzar perbaharuilah perahumu karena lautan itu sangatlah dalam, ambilah perbekalan secara sempurna (banyak) karena perjalanan itu sangatlah jauh, dan kurangilah beban bawaanmu karena tanjakan itu bagaikan gunung, dan ikhlaskanlah amal karena Dzat yang menilai baik dan buruk maha melihat “. (kitab Nashoihul ‘ibad).
Sahabat yang dirahmati Allah swt, Rosulullah berkata kepada Abu Dzar, siapakah Abu Dzar itu ? Abu Dzar itu berarti bapaknya Abu Dzar, nama sebenarnya adlah Jundub bin Jinadah, Rosulullah saw berkata kepadanya :
جدّدالسفينة
“ perbaharuilah perahumu “, maksudnya yaitu
أحسن النيّة في كلّ ماتأتي وتذر ليحصل لك الأجر والنجاة من عذاب الله تعالى
“ yakni ikhlaskanlah niyat dalam segala amal yang engkau kerjakan agar memperoleh pahala dan selamat dari siksa Allah swt “.
فإنّ البحر عميق
“ maka sesungguhnya lautan itu sangatlah dalam “, maksudnya kehidupan dunia itu bagaikan samudera yang dalam penuh dengan gelombang maksiat, godaan, halangan dan rintangan, kita hidup di dunia berusaha untuk menuju surga itu amatlah berat,,
وإنّ الجنّة مخفوفة بالمكاره وإنّ النار مخفوفة باللذات والشهوات, فلا تلهينّكم عن الأخرة. ( الحديث
“ dan sesungguhnya jalan menuju surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci, banyak rintangannya-rintangannya, dan jalan menuju neraka itu dikelilingi oleh kenikmatan-kenikmatan dan syahwat-syahwat, dan janganlah kamu terlalaikan dalam mencari kehidupan akhirat yaitu surga “, janganlah kita tertipu daya oleh syetan apalagi mengikuti jejak langkahnya, kita sebagai orang yang beriman harus mengetahui jejak langkah dan perbuatan-perbuatan syetan, diantaranya, dalam firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَ اْلخَمْرُ وَاْلمَيْسِرُ وَاْلأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الّشَيْطَانِ, فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. (المائدة : 90 ).
“ wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan “. (QS,al-Maidah : 90).
Selanjutnya kata Rosulullah :
وخذالزاد كاملا فإنّ السفر بعيد
“ ambilah perbekalan secara sempurna, karena perjalanan itu sangatlah jauh “, perjalanan disini yaitu perjalanan dari dunia menuju akhirat, dan perbekalan disini maksudnya yaitu taqwa, karena taqwa merupakan suatu bekal yang efisien untuk bekal menuju akhirat dengan taqwa kita bisa memperoleh derajat yang mulia karena taqwa yaitu ‘melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya’ yaitu larangan Allah swt, kemudian Rosul meneruskan ucapannya :
وخفّف الحمل فإنّ العقبة كئود
“ dan kurangilah beban, karena tanjakan itu bagaikan gunung “, kurangi beban maksudnya yaitu sederhanakanlah urusan dunia, jangan mengutamakan kehidupan dunia sedangkan kehidupan akhirat terlalaikan, biasanya yang sering melalaikan manusia dan lupa untuk berdzikir dan beribadah kepada Allah yaitu selain kemegahan dunia, tapi juga karena harta dan anak,, kemudian Rosulullah melanjutkan ucapannya :
وأخلص العمل فإنّ الناقد بصير
“ dan ikhlaskanlah dalam beramal, karena Dzat yang menilai baik dan buruk itu maha melihat “. Maksudnya amal perbuatan itu harus disertai niyat yang ikhlas, tanpa niyat yang ikhlas amal seseorang tidak akan diterima meskipun banyak, tapi dengan ikhlas amal sedikitpun akan besar artinya di sisi Allah swt.
Sahabat yang dirahmati Allah, untuk kesimpulannya yaitu kita harus ingat bahwasanya manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, dan manusia hidup di dunia ini tidak kekal abadi melainkan akan mati dan berpindah tempat dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat, dan seyoginya kita harus mempersiapkan bekal yang cukup untuk menempuh perjalanan tsb. Yang akan menyelamatkan kita tiada lain hanyalah Rahmat Allah dan bekal tsb, yaitu amal shalih dan taqwa yang akan mengantarkan kita pada derajat yang mulia yaitu ridha Allah swt.
dalam rangka kita sebagai kaum muslimin, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
Ketika sakit menjelang wafat, Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?” Lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini”! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah.
Setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya, memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).
Apakah bekal terbaik ?
Pertama,
kekuatan iman dan taqwa kepada Allah SWT dan kepada hal-hal yang ghaib termasuk hari akhir.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).
Salah satu Ciri yang orang takwa adalah yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3). Keimanan kepada yang ghaib termasuk kepada hari akir memberikan kemampuan kepada manusia untuk menembus batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT.
Kedua,
Kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu. Bukan berarti kita menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Dunia hanyal alat dan infrastruktur menyiapkan bekal dan bukan tujuan akhir.
Ketiga,
kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Hal ini hanya mungkin dilakukan bila kita percaya kepada Allah, dan percaya pada balasan-Nya.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2:
45-46).
Keempat,
Semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS. Al-`Ankabut/29:69).
Pada hakikatnya kita saat ini sedang melakukan perjalanan mengarungi hidup di dunia yang akan menuju akhirat kelak. Seperti diriwayatkan di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Hidup ini hanyalah selintas saja, seperti seorang yang berjalan kemudian berteduh di bawah pohon rindang kemudian berjalan lagi”.
Inilah 5 Cara untuk menjaga menjadi bekal hidup itu:
1. Mu’ahadah (selalu mengingat perjanjian dengan Allah SWT)
Perjanjian yang telah kita lakukan ketika awal penciptaan ruh tersebut dipahami oleh para ulama sebagai syahadat kita yang pertama. Sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an, Allah berfirman : “Dan ingatlah ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab. “Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikianitu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al A’raf, 7 : 172)
Ini adalah sebuah perjanjian yang kita di dunia ini diuji oleh Allah, apakah kita termasuk orang-orang yang memegang teguh perjanjian tersebut. Kemudian juga perjanjian-perjanjian kita dalam sholat-sholat kita semisal dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi, “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”. Artinya, hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon dan meminta pertolongan. Sudahkah kita mengabdi dan memohon pertolongan hanya kepada Allah?
2. Mujahadah (orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah)
Ibadah adalah alasan Allah menciptakan manusia. “Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka menyembahKU. (QS. Adz Dzariyat, 51 : 56)
Bermujahadah artinya bersungguh-sungguh dalam melaksankan keta’atan dalam menjalankan perintah Allah. Sa’id Musfar Al Qahthani mengatakan; Mujahadah berarti mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mempergunakan potensi diri untuk taat kepada Allah dan apa-apa yang bermanfaat bagi diri saat sekarang dan nanti, dan mencegah apa-apa yang membahayakannya.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benarakan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al ‘Ankabuut, 29 : 69)
Orang yang merubah rasa malas menjadi semangat, meninggalkan maksiat menuju keta’atan, bodoh menjadi berilmu, dari ragu kepada yakin, adalah ciri orang yang bermujahadah. Mujahid yang selalu berupaya bersungguh-sungguh di jalan Allah.
3. Muraqobah (Selalu Merasa diawasi Allah)
“Orang yang banyak berdzikir adalah orang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Dzikir terambil dari kata dzakaro yang berarti menghadirkan sesuatu ke dalam benak. Dzikrullah adalah menghadirkan Allah ke dalam benak. Karena itu orang yang selalu berdzikir akan menyadari betul bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Seperti di dalam ayat “Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (QS. Al A’la, 87 : 7)
Dalam ayat lain: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dengan urat lehernya, yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf, 50 : 16-18)
4. Muhasabah (Intropeksidiri)
Terkait dengan muhasabah, Umar bin Khaththab berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab, timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sesungguhnya berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab di kemudian hari” (HR. Iman Ahmad dan Tirmidzi secara mauquq dari Umar bin Khaththab)
Hal senada juga pernah diungkapan oleh Hasan Al Basyri pernah berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya karena Allah. Karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah menghisab dirinya di dunia.
5. Mu’aqobah (Memberi sanksi ketika lalai beribadah)
Sikap jika bersalah memberi sanksi diri sendiri dengan mengganti dan melakukan amalan yang lebih baik meski berat, contoh dengan infaq dan sebagainya. Atau dengan bersegera bertaubat dan berusaha kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Memberikan sanksi (‘iqob) ketika kita lalai memang sulit. Dibutuhkan kesadaran diri yang baik dan kimanan yang kuat. Hanya orang-orang yang sholeh yang dapat melakukannya. Seperti salah satu kisah Nabi Sulaiman as dalam Alquran,
“(ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku
sampai kuda itu hilang dari pandangan. Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”, Lalu ia potong kaki
dan leher kuda itu.(QS. Shaad, 38 : 31-33)
Sebuah perilaku yang dapat kita jadikan contoh, juga generasi sahabat atau parasalaf yang meng ‘iqob dirinya secara langsung ketika mereka melakukan kekhilafan, misalnya: dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab pergi kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan sholat Ashar. Maka beliau berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah sholat Ashar, kini kebunku aku jadikan shodaqoh untuk orang-orang miskin.
Subhanallah walhamdulillah, bagaimana dengan akhlak kita? Seberapa sering kita lalai dan seakan tidak perduli dengan kelalaian kita tersebut. Semoga 5 M ini lebih berharga dari 5 milyar yang kita inginkan di dunia ini. Karena 5 M ini jauh bernilai karena dapat menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat kita kelak. Insya Allah.
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
* Ketua DPC PKS Kec.Medan Perjuangan
0 Response to ""Bekal Hidup" Oleh Anton Simarmata"
Posting Komentar